ket : post ini sebelumnya sudah dipublish duluan di tumblrku, dgn alamat yg sama dgn blog ini.
Dalam setiap temu denganmu, aku menatap lalu memalingkan wajah. Aku sama sekali tak sanggup menatapmu. Aku malu jika kamu tahu pipiku memerah melihatmu berdiri di ujung sana. Hingga membuatku sendiri takut. Takut jika kamu berpikir aku tak sudi menatapmu.
Seperti jarak yang membeku, sepertimu yang membuatku terpaku. Izinkan aku menyayangimu entah itu dalam diamku, ramaiku, atau ketulusanku.
Katakanlah, aku seperti tengah bersampan mengarungi samudra biru yang luas yang kau sebut dunia. Aku terus mencari tempat untuk berlabuh. Setelah diterpa badai di pelabuhan sebelumnya, aku gundah. Haruskah aku terus mengarungi samudra tanpa ujung ini ataukah singgah padamu?
Aku singgah padamu, berharap mendapat naungan yang ku butuhkan. Kamu terasa asing tapi ada juga sesuatu darimu yang familiar, yang menarikku mendekat perlahan sebagaimana gravitasi pada buah apel. Benar, kata sahabatku, kamu membuatku bahagia. Walau satu pun salam belum terucap, satu pun guyonan belum kau buat, dan satu pun tawaku atau mu belum terdengar di telinga mereka… Dan, kamu aku cuma sebatas sama-sama tahu kehadiran masing-masing.
Malam bulan Oktober begitu gerah, tampaknya menyambut musim penghujan yang menghapus jejak-jejak cinta masa lalumu. Aku ingin menatap gemintang di tempat singgah baruku sambil berbincang denganmu, meraih teknologi persegi yang berbunyi nyaring ini. Ingin ku ucapkan sekedar salam pembuka yang hangat.
Aku ingin menunggu hujan. Menunggunya menghujamku tanpa ampun tepat pada luka-luka yang ku pelihara. Menunggunya membersihkan kebenaran tentangmu sehingga aku benar-benar mengenalmu. Menunggunya menghempas angin agar angin tergerak mewakilkan salam ini. Menunggunya menghembus hawa dingin yang menyejukkan dua jiwa pernah tersakiti. Menunggunya menyembuhkan luka-lukamu… Aku pun rela menunggumu.
Jika memang Tuhan yang menakdirkanku mengarungi samudra luas ini menghendakiku menunggumu, aku akan menuruti kemauanNya. Aku akan menunggumu. Berapa lama kita akan terpisah oleh jarak ini? Aku akan menunggu, jika memang Tuhan menyuruhku menunggu.
Aku adalah jiwa terluka. Entah berapa banyak luka ku pelihara dalam hati yang rapuh ini. Aku ditertawakan karena melabuhkan sampanku padamu, sebuah pelabuhan asing yang tak begitu menarik. Kecanggihan rupa bukanlah jaminan sebuah kebahagiaan. Sekalipun bahagia di dunia ini fana, jika bahagia itu karenamu, itu adalah bahagia yang indah.
Dan, aku pun terdiam di sudut tempatku kemarin malam menangisimu, di sebuah sampan. Di antara angin gersang bulan Oktober, aku meniupkan doa yang akan dibawanya ke angkasa tertinggi menuju Tuhan…
“Tuhan, semoga Engkau mengizinkanku melengkapi imannya, membuatnya bahagia, dan bertemu dengannya lagi kelak. Tolong, jangan pisahkan aku terlalu jauh darinya, ia membuatku merasa bahagia…”