lundi 26 mars 2012

sebuah fajar di awal minggu

...dan aku tetap terjaga entah sampai kapan. Sesekali mataku melirik jam yang menggantung di dinding bercat krem. Waktu sudah menunjukkan hari akan beranjak pagi tapi aku tetap tak beranjak dari sini menunggu tanda-tanda kehadiran sesuatu yang ku nantikan sejak awal mimpi ini.


Layaknya mimpi, pertemuan-pertemuan lalu itu maya tapi bukan fatamorgana. Bahkan perasaan pun tidak terbohongi sedikitpun. Seolah tak pernah terjadi dan mudah kau dustakan kebenarannya tapi membekas. Tak ubahnya seperti melihat hantu. Seolah tidak nyata tapi tak bisa terlupakan
Dan aku telah memberitahu diriku sendiri. Aku membisiki relung-relung jiwaku bahwa ini mungkin akan membawaku pada mimpi buruk yang lain, tapi dia menyegarkan jiwaku seolah mengajakku pergi ke pantai. Ya! Dia mengajakku ke pantai! Dia menceritakan dunia melalui kata-kata, terangkai indah begitu saja, dan aku pelan-pelan mengerti bahwa ini tidak bisa dikonfrontasi lagi. Benarkah aku telah jatuh cinta?
pujangga keparat pecandu arak mana yang bisa menjelaskan mabuknya ditenggelamkan dalam samudra romansa? Bahkan, aku sendiri pun tidak bisa menjelaskannya. Tidak dengan kata-kata, dengan lukisan di kanvas, bahkan dengan sebuah mimik ekspresi jiwa. Dirinyakah yang begitu indah hingga begitu usah untuk di deskripsikan? ataukah perasaan ini saja yang menjadi demikian polos tanpa dosa?
...dia bangkitkan jiwaku. dia datang membawakanku sebuket mawar maya dan senyuman yang terlukiskan dalam tiap-tiap frasa kata yang ia bentuk. tiap-tiap konsonan dan vokal yang ia susun seolah mencerminkan ekspresi-ekspresi tersendiri dari luapan rasa yang tak tergambarkan seperti apa wujudnya. dia membawa kembali senyumku. dia memberitahuku dan aku seolah melupakan apa yang ia beritahukan, tetapi aku mengingat dengan jelas perasaan yang ku rasa ketika ia memberitahunya. aku mengumpulkan pecahan-pecahan mozaik percakapan untuk membentuk sebuah afeksi yang walaupun kecil tapi memiliki efek seperti kepakan sayap kupu-kupu...kecil namun mengubah dunia.
andailah jarak ini yang dikatakan pujangga sebagai penghambat bisa dimusnahkan dalam sekali klik. apakah aku ingin menemuimu? apakah aku pun tahu apa yang ku inginkan darimu? apakah aku tega memintanya kepadamu?
namun aku merindu! kau mungkin sama saja dengan bintang-bintang yang mengisi gelapnya malam-malamku. namun, kaulah satu-satunya yang menemaniku dan mendengarku. hanya kaulah satu dari sedikit yang walau sebentar namun telah memberi kasih tanpa terperi. kau mengunciku dalam biru. atau mungkin kau satu-satunya yang seperti itu... entahlah. aku melaju mencarimu dalam entah.


...dan itu kamu yang duduk manis dalam mimpiku. itukah kamu yang sengaja memintaku memimpikanmu lalu sekonyong-konyong datang? ya, itu kamu.
itukah kamu yang meski tidak memberiku sebuah simfoni? ya itu kamu. tapi kamu membuatkanku sebuah peran yang indah untuk dijalani.
itu kamu yang membuatku tersenyum meskipun percakapan ini tidak terjadi secara fisik. aku seolah hanya berbicara kepada angin... angin yang menghembus ombak pantai dan membawa kelopak-kelopak mawar kepadamu. sementara disini aku mengukir namamu ditemani para kupu-kupu. engkaulah pelindung yang pengasih yang datang ketika fajar menyingsing.


...dan aku masih terjaga sampai matahari hampir berangkat menyinari jagad. tetapi inilah caraku sendiri yang mungkin terasa abnormal pada logikamu untuk menemuimu. sebuah atau mungkin seorang fajar. aku hampir melihat 'fajar' menyingsing. aku hampir melihatmu. tetapi kamu berbeda dengan 'fajar' menyingsing.
satu-satunya persamaan kalian adalah kalian sama-sama mengantarkanku pada halaman baru pada buku ku.
buaianmu padaku kiranya sama dengan buaian sinar matahari. meskipun tidak terasa pada  tubuhku, tetapi menghangatkan jiwaku dengan caramu masing-masing.
ya, itu kamu.

mercredi 21 mars 2012

Malaikat Tak Bersayap

(ket : Ini buat Icha) :)




...dalam kabut yang menyelimuti duniaku,
juga dalam sinar mentari yang menghangatkannya
meskipun semua itu terasa begitu semu
selalu terselip doa-doa kecil untuknya


dan tak seorangpun. tidak juga diriku sendiri mampu memberiku alasan-alasan mengapa aku mencintainya. mengapa aku terus mencinta, berharap, lalu jatuh, kemudian mencinta lagi? bagaikan siklus air, mencinta-berharap-jatuh-lalu mencinta lagi sudah merupakan sebuah siklus tetap yang belakangan ini terus saja terjadi dalam hidupku. masalahnya adalah, berapa lama waktu dalam kata "belakangan" itu?


entahlah.
aku tidak sanggup mengilas balik dan menghitung berapa ribu jam yang ku habiskan dengan perasaan sinting ini. dan anehnya aku tidak sedikit pun menyesalinya. aku tidak menyesali perasaan ini. aku pun tidak membenci perasaanku.. kau memiliki banyak alasan bagiku untuk dibenci. aku bisa dengan mudahnya membencimu berkat alasan-alasan itu, tapi tak sedikitpun ku mampu menghitamkan cintaku menjadi kebencian.


sisi lain dariku menghakimi dan memaksaku untuk angkat kaki dari rasa yang terasa semakin hari semakin biru. aku mungkin telah lupa akan siapa diriku... lupa akan siapa diriku tanpa cintamu. tetapi engkau dalam mozaik-mozaik penuh senyum dan tatapan itu terlalu sulit untuk ditinggalkan. 


siapakah engkau yang berani mengambil alih kuasa atas gravitasi dalam duniaku?
siapakah engkau yang membuatku berani menulis nulis cinta?
siapakah engkau yang terus saja ku mimpikan dalam tiap-tiap celah alam bawah sadarku?
siapakah engkau yang ku lamunkan dalam senja biru?
siapakah engkau dan segala tipu dayamu mampu meracuniku dengan pesona?
siapakah engkau yang datang tiba-tiba lalu pergi pun tiba-tiba?
siapakah engkau dan apa yang kau miliki sehingga aku jatuh mencinta ?


kau hanyalah satu di antara jutaan bintang biru yang mengunciku dalam rindu.
... dan kau yang tampak begitu indah bagi jiwa ini ...
kau adalah malaikat tanpa sayapku di dunia.

mardi 20 mars 2012

Senandung Bulan Juli

Jogjakarta malam, 21 Juli


Cinta itu tumbuhnya karena terbiasa. Terbiasa tidak melihatmu, terbiasa diacuhkanmu, dan terbiasa memungkiri rasa cinta itu sendiri mungkin termasuk dalam salah satu alasan mengapa cinta ini bisa bertahan sedemikian lama sampai saat ini. Rasa ini eksis meskipun tiap saat aku selalu mengingkari eksistensinya di hatiku.


Aku mengaduk teh dalam cangkir porselen putih. Buih-buih putih terlihat kontras dengan kelamnya warna teh dalam cangkir. Perlahan buih-buih itu menghilang. Aku meneguknya pelan. Teh kali ini rasanya hambar, pikirku.


Kemudian benakku melayang... Otakku mencari-cari sebuah dokumen atau tepatnya mungkin file lama yang sudah cukup lama juga tidak dibuka. Mungkin sekarang sudah dilekang oleh waktu. Otakku terus mencari dan bersamaan dengan pencarian itu pikiran-pikiran tentang hal yang hampir serupa menyerbuku. Bagaikan seribu pasukan membombardirku dengan serangan-serangan kegalauan yang menyiksa batin.


Pintu masuk kafe tempatku bersemayam terbuka dan masuklah sepasang anak manusia beretnis Cina. Aku cepat-cepat mengalihkan pandangan ke arah jendela kafe yang menuju pada ramainya jalanan kota Jogja ketika malam datang. Pasangan itu mengingatkanku padamu dan juga pada harapan-harapanku yang semu.
Lalu lalang mobil-mobil yang cepat dan ramai itu laksana deraian air mataku yang mungkin akan mengalir dengan deras. Rindu ini menyesakkanku.


...
kala itu...
Di sebuah tempat yang ramai dan penuh sesak oleh manusia-manusia kelaparan, mata kita beradu. Memang bukan tempat yang bagus untuk pertemuan seindah itu tapi, bagi anak SMA kantin adalah surga dunia, bukan?
Aku masih ingat bagaimana tatapan matamu membuntuti tiap gerak-gerikku. Kau mengawasiku dengan hati-hati seolah tak ingin kehilangan satu pun gerakan. Lalu, kemudian bibirmu yang tipis membentuk lengkungan indah yang membuatku bergelimang rindu. Kau tersenyum padaku. Pada saat itu pula, aku meleleh sama seperti es dalam gelas teh yang ku pegang ini.
...


Itulah sebabnya mengapa aku memesan secangkir teh kali ini. Pertama, teh selalu mengingatkanku padamu. Tidak peduli jika rasanya manis atau pahit, pokoknya secangkir teh selalu mengantarku pada sebuah kenangan lama. Kedua, aku berharap itu bisa menenangkanku meskipun aku tahu itu tidak akan banyak membantu mengurangi kesedihan ini.


Terputarnya kenangan lama rupanya membawaku pada sebuah pemikiran kritis. Mengapa aku seperti ini- bergelimang rindu? Apa bagusnya dirimu sampai membuatku merasakan rindu yang merajam?
Kau hanyalah satu dari ribuan atau mungkin jutaan bintang biru yang mengunci gerakku dalam rindu dan ragu.


Pernahkah kita berbagi percakapan yang intim? Pernahkah kau memujiku? Pernahkah kau memperlakukanku dengan spesial? Pada intinya kau tidak memiliki satu pun alasan mengapa aku harus mencintamu. Tapi, pada kenyataannya, aku memiliki ribuan alasan berderet panjang untuk tidak meninggalkan cinta ini. Tidak walaupun harapan itu terlihat sangat kecil dan kelihatannya pun tidak mungkin. Tapi aku bertahan dan menggantungkan mozaik-mozaik jiwaku pada harapan bersayap kecil itu. Dan tanpa aku menyadari, mozaik-mozaik itu membentuk sebuah lukisan bernuansa biru tentang rindu...


Dan, kini aku meneguk tehku kembali. Berharap cairan hangat yang manis itu bisa menenangkan gejolak sesak pada dadaku.
Sedang apa kau sekarang?
Dimana kau sekarang?
Adakah yang lain yang menempati relung-relung jiwamu?
Adakah kau mengingatku?


Aku terus bertanya-tanya. Aku terus saja melontarkan pertanyaan yang jawabannya sama sekali mengambang. Tidak seorang pun tahu dengan pasti kecuali Tuhan. Aku terus saja menanyakannya dalam hati padahal aku tahu tidak akan ada seorang manusia pun yang mendengarnya...




- not finished yet. TO BE CONTINUED -