mardi 20 mars 2012

Senandung Bulan Juli

Jogjakarta malam, 21 Juli


Cinta itu tumbuhnya karena terbiasa. Terbiasa tidak melihatmu, terbiasa diacuhkanmu, dan terbiasa memungkiri rasa cinta itu sendiri mungkin termasuk dalam salah satu alasan mengapa cinta ini bisa bertahan sedemikian lama sampai saat ini. Rasa ini eksis meskipun tiap saat aku selalu mengingkari eksistensinya di hatiku.


Aku mengaduk teh dalam cangkir porselen putih. Buih-buih putih terlihat kontras dengan kelamnya warna teh dalam cangkir. Perlahan buih-buih itu menghilang. Aku meneguknya pelan. Teh kali ini rasanya hambar, pikirku.


Kemudian benakku melayang... Otakku mencari-cari sebuah dokumen atau tepatnya mungkin file lama yang sudah cukup lama juga tidak dibuka. Mungkin sekarang sudah dilekang oleh waktu. Otakku terus mencari dan bersamaan dengan pencarian itu pikiran-pikiran tentang hal yang hampir serupa menyerbuku. Bagaikan seribu pasukan membombardirku dengan serangan-serangan kegalauan yang menyiksa batin.


Pintu masuk kafe tempatku bersemayam terbuka dan masuklah sepasang anak manusia beretnis Cina. Aku cepat-cepat mengalihkan pandangan ke arah jendela kafe yang menuju pada ramainya jalanan kota Jogja ketika malam datang. Pasangan itu mengingatkanku padamu dan juga pada harapan-harapanku yang semu.
Lalu lalang mobil-mobil yang cepat dan ramai itu laksana deraian air mataku yang mungkin akan mengalir dengan deras. Rindu ini menyesakkanku.


...
kala itu...
Di sebuah tempat yang ramai dan penuh sesak oleh manusia-manusia kelaparan, mata kita beradu. Memang bukan tempat yang bagus untuk pertemuan seindah itu tapi, bagi anak SMA kantin adalah surga dunia, bukan?
Aku masih ingat bagaimana tatapan matamu membuntuti tiap gerak-gerikku. Kau mengawasiku dengan hati-hati seolah tak ingin kehilangan satu pun gerakan. Lalu, kemudian bibirmu yang tipis membentuk lengkungan indah yang membuatku bergelimang rindu. Kau tersenyum padaku. Pada saat itu pula, aku meleleh sama seperti es dalam gelas teh yang ku pegang ini.
...


Itulah sebabnya mengapa aku memesan secangkir teh kali ini. Pertama, teh selalu mengingatkanku padamu. Tidak peduli jika rasanya manis atau pahit, pokoknya secangkir teh selalu mengantarku pada sebuah kenangan lama. Kedua, aku berharap itu bisa menenangkanku meskipun aku tahu itu tidak akan banyak membantu mengurangi kesedihan ini.


Terputarnya kenangan lama rupanya membawaku pada sebuah pemikiran kritis. Mengapa aku seperti ini- bergelimang rindu? Apa bagusnya dirimu sampai membuatku merasakan rindu yang merajam?
Kau hanyalah satu dari ribuan atau mungkin jutaan bintang biru yang mengunci gerakku dalam rindu dan ragu.


Pernahkah kita berbagi percakapan yang intim? Pernahkah kau memujiku? Pernahkah kau memperlakukanku dengan spesial? Pada intinya kau tidak memiliki satu pun alasan mengapa aku harus mencintamu. Tapi, pada kenyataannya, aku memiliki ribuan alasan berderet panjang untuk tidak meninggalkan cinta ini. Tidak walaupun harapan itu terlihat sangat kecil dan kelihatannya pun tidak mungkin. Tapi aku bertahan dan menggantungkan mozaik-mozaik jiwaku pada harapan bersayap kecil itu. Dan tanpa aku menyadari, mozaik-mozaik itu membentuk sebuah lukisan bernuansa biru tentang rindu...


Dan, kini aku meneguk tehku kembali. Berharap cairan hangat yang manis itu bisa menenangkan gejolak sesak pada dadaku.
Sedang apa kau sekarang?
Dimana kau sekarang?
Adakah yang lain yang menempati relung-relung jiwamu?
Adakah kau mengingatku?


Aku terus bertanya-tanya. Aku terus saja melontarkan pertanyaan yang jawabannya sama sekali mengambang. Tidak seorang pun tahu dengan pasti kecuali Tuhan. Aku terus saja menanyakannya dalam hati padahal aku tahu tidak akan ada seorang manusia pun yang mendengarnya...




- not finished yet. TO BE CONTINUED -

Aucun commentaire: