requested by Icha. a short tale about two people in love, Icha and Danny. God please answer my prayer :)
***
Selasa, 7 Februari 2012
Karena di dunia ini kata 'kebetulan' sama sekali tidak ada. Sehelai daun yang jatuh tertiup angin pun sudah diperhitungkan dengan sangat baik oleh Tuhan. Jika angin tak menghembusnya, daun itu hanya akan mati mengering di antara daun-daun hijau segar. Daun itu akan malu dengan keadaannya. Beruntunglah Tuhan memerintahkan angin meniupnya jatuh untuk bergabung bersama teman-temannya yang lain sehingga ia tidak sendirian dan kesepian.
Begitu juga yang terjadi pada sebuah pertemuan. Tuhan yang Maha Pengertian telah mengatur sedemikian rupa sebuah pertemuan antara kedua anak manusia. Tentu saja, dengan tujuan yang sama. Supaya kedua orang itu nanti tidak kesepian seperti daun.
Tuhan Maha Asik mempertemukanku dengan seseorang di bulan Juli yang panas. Bulan Juli yang bersimbah keringat dan bermandikan cahaya matahari nan terik. Inilah puncak musim kemarau. Kala itu, kami sedang memperkenalkan diri masing-masing, layaknya sebuah tahun ajaran baru.
Dia duduk di depanku pada hari itu. Secara fisik, dia cukup menawan. Haruskah aku katakan pujian agar kalian tahu betapa menawannya dia pada hari itu? Dia bermata sipit dan berkulit putih selayaknya orang Cina. Biasa saja sebenarnya.
Kami melewati sisa hari itu dengan canda dan tawa. Pertama kali melihatnya, aku tidak merasa tertarik. Tetapi, karena sebuah momentum sederhana membuatku jatuh hati dan aku tertarik oleh pesonanya. Kini, senyumnya menyegarkan hatiku yang sebelumnya sesak dan gersang. Senyumnya adalah sebuah anomali di antara musim-musim yang silih berganti.
Waktu pun berlalu seolah tak terhitung. Tiba-tiba Juli sudah menjelma menjadi Agustus. Teriknya matahari kian terasa membakar ubun-ubun. Aku masih mengingat hari itu dengan amat jelas dalam ingatanku. Seorang bapak guru datang ke kelas kami membawa secarik kertas. Ekspresi-ekspresi para pendengar begitu tegang dan sunyi, sebuah ekspresi yang amat tidak biasa dan jarang terjadi. Bapak guru itu menyebutkan nama-nama. Ketika satu persatu nama dalam carik kertas itu selesai dibacakan, ekspresi para pendengar itu mulai berubah. Apalagi ketika tahu bahwa mereka yang dipanggil akan segera mengikuti kelas percepatan belajar.
Mereka yang dipanggil bersorak. Para pendengar lain yang namanya tak dipanggil mendatangi mereka bertiga dengan ekspresi bahagia, termasuk aku. Mereka menyalami satu-satu ketiga orang beruntung itu. Aku ikut bahagia dia juga termasuk ketiga orang beruntung itu. Itu artinya, dia pintar, kan?
Sorakan-sorakan bahagia itu berhenti seiring berbunyinya bel pulang. Aku bersiap mengemasi barang ketika kemudian salah seorang temannya yang lagi-lagi satu ras menghampiriku.
"Tadi Danny manggil-manggil kamu lho, Cha," katanya. Ekspresinya sulit ditebak entah memang karena dia tidak pandai membuat ekspresi yang sinkron dengan keadaan atau karena moodku yang mendadak berubah.
Aku langsung heran. Untuk apa, dia memanggilku? Ada perlu apa? Bukankah kami tidak terlalu dekat?
Aku tidak menggubris perkataannya walaupun sejuta tanya menghinggapiku. Sejuta tanya menerkamku tanpa ampun. Ada maksud apa di balik ini?
Aku telah selesai mengemasi barangku dan akan keluar kelas. Ku dapati dia berdiri semeter di depanku dan menatapku. Arti tatapannya sulit ditebak. Aku tidak tahu harus berbuat apa selain diam dan pura-pura tidak tahu apa-apa.
***
Selasa, 7 Februari 2012
Karena di dunia ini kata 'kebetulan' sama sekali tidak ada. Sehelai daun yang jatuh tertiup angin pun sudah diperhitungkan dengan sangat baik oleh Tuhan. Jika angin tak menghembusnya, daun itu hanya akan mati mengering di antara daun-daun hijau segar. Daun itu akan malu dengan keadaannya. Beruntunglah Tuhan memerintahkan angin meniupnya jatuh untuk bergabung bersama teman-temannya yang lain sehingga ia tidak sendirian dan kesepian.
Begitu juga yang terjadi pada sebuah pertemuan. Tuhan yang Maha Pengertian telah mengatur sedemikian rupa sebuah pertemuan antara kedua anak manusia. Tentu saja, dengan tujuan yang sama. Supaya kedua orang itu nanti tidak kesepian seperti daun.
Tuhan Maha Asik mempertemukanku dengan seseorang di bulan Juli yang panas. Bulan Juli yang bersimbah keringat dan bermandikan cahaya matahari nan terik. Inilah puncak musim kemarau. Kala itu, kami sedang memperkenalkan diri masing-masing, layaknya sebuah tahun ajaran baru.
Dia duduk di depanku pada hari itu. Secara fisik, dia cukup menawan. Haruskah aku katakan pujian agar kalian tahu betapa menawannya dia pada hari itu? Dia bermata sipit dan berkulit putih selayaknya orang Cina. Biasa saja sebenarnya.
Kami melewati sisa hari itu dengan canda dan tawa. Pertama kali melihatnya, aku tidak merasa tertarik. Tetapi, karena sebuah momentum sederhana membuatku jatuh hati dan aku tertarik oleh pesonanya. Kini, senyumnya menyegarkan hatiku yang sebelumnya sesak dan gersang. Senyumnya adalah sebuah anomali di antara musim-musim yang silih berganti.
Waktu pun berlalu seolah tak terhitung. Tiba-tiba Juli sudah menjelma menjadi Agustus. Teriknya matahari kian terasa membakar ubun-ubun. Aku masih mengingat hari itu dengan amat jelas dalam ingatanku. Seorang bapak guru datang ke kelas kami membawa secarik kertas. Ekspresi-ekspresi para pendengar begitu tegang dan sunyi, sebuah ekspresi yang amat tidak biasa dan jarang terjadi. Bapak guru itu menyebutkan nama-nama. Ketika satu persatu nama dalam carik kertas itu selesai dibacakan, ekspresi para pendengar itu mulai berubah. Apalagi ketika tahu bahwa mereka yang dipanggil akan segera mengikuti kelas percepatan belajar.
Mereka yang dipanggil bersorak. Para pendengar lain yang namanya tak dipanggil mendatangi mereka bertiga dengan ekspresi bahagia, termasuk aku. Mereka menyalami satu-satu ketiga orang beruntung itu. Aku ikut bahagia dia juga termasuk ketiga orang beruntung itu. Itu artinya, dia pintar, kan?
Sorakan-sorakan bahagia itu berhenti seiring berbunyinya bel pulang. Aku bersiap mengemasi barang ketika kemudian salah seorang temannya yang lagi-lagi satu ras menghampiriku.
"Tadi Danny manggil-manggil kamu lho, Cha," katanya. Ekspresinya sulit ditebak entah memang karena dia tidak pandai membuat ekspresi yang sinkron dengan keadaan atau karena moodku yang mendadak berubah.
Aku langsung heran. Untuk apa, dia memanggilku? Ada perlu apa? Bukankah kami tidak terlalu dekat?
Aku tidak menggubris perkataannya walaupun sejuta tanya menghinggapiku. Sejuta tanya menerkamku tanpa ampun. Ada maksud apa di balik ini?
Aku telah selesai mengemasi barangku dan akan keluar kelas. Ku dapati dia berdiri semeter di depanku dan menatapku. Arti tatapannya sulit ditebak. Aku tidak tahu harus berbuat apa selain diam dan pura-pura tidak tahu apa-apa.
~~~
Dari sanalah, semua ini berasal. Dari seorang dia yang berdiri di depan menatapku...
dari sanalah, datang cinta yang tidak diundang ini.
Rentetan kejadian itu masih menghantuiku. Masih tersimpan dengan jelas di dalam memoriku. Aku tidak akan pernah bisa menghapusnya. Sebelum aku tidur, kenangan manis itu terputar bagai sebuah film di benakku. Aku hanya bisa menonton dan memutar baliknya, bukan mengubahnya. Itu sudah lalu.
Seiring berlalunya hari, tidak terasa Oktober datang menyapa. Langit mulai mendung dan awan-awan mengelabu menyambut datangnya musim hujan. Aku masih mengingatnya dengan sangat jelas bahkan aku mulai merasa bahwa aku menyukainya. Selayaknya perasaan baru, perasaanku masih begitu segar dan menggebu-gebu. Begitu optimis, penuh harap, dan tak ternoda. Perasaanku masih begitu polos dan satu-satunya harapku hanyalah bagaimana agar aku bisa dekat dengannya.
Setiap hari ku lafalkan permohonan suciku untuk dekat dengannya. Harapanku tak kunjung pudar. Perasaanku pun tumbuh. Dari yang tadinya hanya sekedar menyukai sekarang berkembang menjadi cinta. Cinta yang polos, tak ternoda, dan optimis. Sekali lagi, cinta itu masih begitu segar dan baru. Jangan salahkan aku, jika perasaanku tumbuh. Jangan salahkan aku jika aku mencintaimu, Danny. Jangan salahkan aku. Bagaimana aku tidak jatuh cinta jika dalam setiap pertemuan kita kamu selalu menatapku?
Tatapan yang seringkali berhiaskan senyuman. Aku tidak tahu apa-apa tentang arti dari itu. Entah aku yang takut membuat kesimpulannya atau memang akulah yang tak ingin tahu dan takut terluka. Aku hanya membiarkan hari-hari cantik itu berlalu perlahan lalu tertinggal di belakang menjadi sebentuk kenangan. Semoga saja ada sebuah kotak yang cukup cantik untuk membungkus kenangan-kenangan yang indah tak terlukiskan itu.
Harus ku katakan, perasaanku menguat dan mengakar. Pohon beringin itu adalah simbol kehidupan dan cintaku kepadanya terwakilkan oleh sebatang beringin. Akarnya tumbuh semakin kokoh dari hari ke hari dan daunnya melebat meneduhi jiwaku. Cinta ini hidup. Senyum, tatapan, dan pertemuan-pertemuan tak disengaja itulah yang memberinya nyawa. Walau seringkali tersakiti, aku tidak akan mundur.
Datang sebuah ide dari kepalaku. Aku menulis sebuah novel. Tulisan yang aku tulis tanpa aku tahu sebenar-benarnya dia. Aku hanya mengikuti kata hatiku. Ku tuliskan dengan tinta emas kesabaran dan segenap perasaanku yang membuncah senang. Oh, Tuhan, satukanlah aku dengan dia.
Rabu, 8 Februari 2012
Hari ini, aku beribadah pada Allah selayaknya dia berdoa kepada Jesus. Tuhan memang cuma satu, tetapi manusianyalah yang berbeda-beda. Oh, nanti akan ada saatnya membahas semua perbedaan mendalam lagi mendasar itu. Aku melafalkan doa-doa kepada Allah dengan sepenuh hatiku. Haruskah ku jelaskan juga bahwa hatiku telah sesak karena tiap ruangnya telah terisi penuh oleh dia?
Seusai doa-doaku, aku membuka laptopku guna mencari hiburan sebelum kembali berkutat dengan tugas dan buku-buku tebal itu. Sampai saat ini, harapanku hanyalah satu. Aku hanya ingin ngobrol dengannya. Bagiku, sekedar berbasa-basi atau menyapa saja sudah bisa melepaskan setengah beban kerinduan yang menyiksaku dari pagi sampai malam ini. Sampai lelah aku merasakannya, menunggu waktu, dan berharap. Untunglah, di saat seperti itu aku memiliki kawan yang baik yang memberiku pompaan-pompaan sikap optimis dan semangat tiada henti. Sungguh, aku sangat beruntung hidup di dunia ini. Sudah sepatutnya jika aku memanjatkan syukur kepadaNya.
Aku terkejut mendapati namanya ada pada daftar teman yang sedang online. Aku memutuskan untuk menyapanya. Entah darimana ku dapatkan keberanian dan kenekatan semacam ini. Aku pun memulainya dengan ramah,
'hai, sombong ya nggak inget kelas yang dulu'
Jantungku berdetak terlalu kencang setelah pesan singkat itu dikirim. Aku takut dia tidak akan membalasnya.
dan, ketika kau membalasnya tidak lama kemudian... rasanya paus akrobatis itu melayang di udara saking bahagianya.
kita pun melanjutkan percakapan. aku terbawa arusnya yang menarikku pada sebuah kenyataan, kenyataan yang indah. Pembicaraan yang mengalir dan hatiku yang segar seperti sehabis disiram. Kau masih sama seperti yang dulu.
Lewat percakapan itu, aku tahu kau sibuk dengan tugas-tugas.
Dan, aku tuliskan kepadamu sebuah kata-kata yang menutup percakapan malam itu.
Ya, ku tunggu kau secepatnya disini... cintaku.
Rabu, 8 Februari 2012
Hari ini, aku beribadah pada Allah selayaknya dia berdoa kepada Jesus. Tuhan memang cuma satu, tetapi manusianyalah yang berbeda-beda. Oh, nanti akan ada saatnya membahas semua perbedaan mendalam lagi mendasar itu. Aku melafalkan doa-doa kepada Allah dengan sepenuh hatiku. Haruskah ku jelaskan juga bahwa hatiku telah sesak karena tiap ruangnya telah terisi penuh oleh dia?
Seusai doa-doaku, aku membuka laptopku guna mencari hiburan sebelum kembali berkutat dengan tugas dan buku-buku tebal itu. Sampai saat ini, harapanku hanyalah satu. Aku hanya ingin ngobrol dengannya. Bagiku, sekedar berbasa-basi atau menyapa saja sudah bisa melepaskan setengah beban kerinduan yang menyiksaku dari pagi sampai malam ini. Sampai lelah aku merasakannya, menunggu waktu, dan berharap. Untunglah, di saat seperti itu aku memiliki kawan yang baik yang memberiku pompaan-pompaan sikap optimis dan semangat tiada henti. Sungguh, aku sangat beruntung hidup di dunia ini. Sudah sepatutnya jika aku memanjatkan syukur kepadaNya.
Aku terkejut mendapati namanya ada pada daftar teman yang sedang online. Aku memutuskan untuk menyapanya. Entah darimana ku dapatkan keberanian dan kenekatan semacam ini. Aku pun memulainya dengan ramah,
'hai, sombong ya nggak inget kelas yang dulu'
Jantungku berdetak terlalu kencang setelah pesan singkat itu dikirim. Aku takut dia tidak akan membalasnya.
dan, ketika kau membalasnya tidak lama kemudian... rasanya paus akrobatis itu melayang di udara saking bahagianya.
kita pun melanjutkan percakapan. aku terbawa arusnya yang menarikku pada sebuah kenyataan, kenyataan yang indah. Pembicaraan yang mengalir dan hatiku yang segar seperti sehabis disiram. Kau masih sama seperti yang dulu.
Lewat percakapan itu, aku tahu kau sibuk dengan tugas-tugas.
Dan, aku tuliskan kepadamu sebuah kata-kata yang menutup percakapan malam itu.
"Ku tunggu kamu secepatnya,"Hanya serangkai kalimat dari empat patah kata yang telah melukiskan penantianku, kesabaranku, kesedihanku, dan juga harapan-harapan kecilku di dalamnya. Walaupun secara harfiah, kalimat itu hanya memiliki sebuah arti tapi percayalah jika kamu merasakan hal yang sama, kamu bisa merasakan semua itu. Penantian, harapan, kesedihan, putus asa, dan juga kesabaran. Kamu akan merasakan makna kalimat itu yang sesungguhnya yang datangnya dari hatiku. Dan, sudah sepantasnyalah aku berterimakasih pada Allah telah memberiku waktu untuk menikmati malam ini. Malam ini, kami dipertemukan dengan indah. Walau hanya kata-kata yang mempertemukanku tetapi cinta dengan sayapnya yang selembut awan membawaku terbang ke langit demi melihatmu disana. Aku akan selalu mengingat malam ini, menyimpannya dalam ingatanku, dan kelak akan ku ceritakan kepada anak-anakku mengenaimu.
Ya, ku tunggu kau secepatnya disini... cintaku.
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire