Sayup, gerutuan-gerutuan para usia muda yang terdengar sepenjuru jangkauan pendengaranku. Lagaknya seolah mereka lama bertarung dengan waktu, pengalaman, dan derita tanpa ujung. Dasar amatir, cibirku. Lakunya seolah mereka telah mangkat dari jabatan jenderal peperangan. Padahal, baru saja datang kemarin sore dari dermaga ujung sana. Patetik, cibirku lagi.
Mereka belum apa-apa sudah sesumbar, lagaknya macam burung merak minta kawin padahal belum matang benar. Seperti beo murah bersanding dalam pertunjukan nyanyi. O begitukah, cibirku.
Lalu, sesumbarlah tentang problema asmara yang katanya membuat mereka tak tidur belasan malam. Kekanakan, batinku. Mereka itu tidak pernahkah berkaca betapa rupa mereka sudah seperti hantu opera? Tapi, apakah mereka itu telah tahu bahwa hantu opera itu "BERTOPENG"? Terlalu banyak sumbarmu, bohongmu, semakin dangkal pengalamanmu, anak muda.
Belum genap dewasa usiaku, namun aku sudah berulang kali menghunus pedang dalam medan perang. Kolonialisme model baru penuh pemaksaan, istilahku. Sampai lelah aku menanggung segala luka perang ini belum lagi segala sesal akan hunusan pedang. Kepada para penonton dengan tatapan nanar di depan panggung. Hidup layaknya seni opera. Engkau sang aktor dengan pengiringan suara musik dramatis dan mereka sang penonton disana tugasnya ya cuma menonton. Dan berkomentar. Tentu saja. Apa lagi gunanya menonton opera selain menghibur diri, menikmatinya, lalu mencibirinya habis-habisan?
Para penonton itu tidaklah ikut tahu menahu tentang semua di balik sandiwara memukau. Mereka tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi bila tirai besar merah itu ditutup. Mereka tidak tahu apa yang ku rahasiakan. Tak ku butuhkan itu simpati palsu dari mereka! Mereganglah sana jika engkau berani membuat satu dua tuduhan palsu! Sesekali berderailah air mata itu boleh tapi jika terlalu sering malah membuat hidupmu tak ubahnya drama sepasang kekasih yang mati muda, dramatis. Tapi, apakah itu adil, wahai para penonton sandiwara hidup? Jerejak-jerejak burung punai masih membekas di langit, setali tiga uanglah dengan sisa-sisa kebaikan. Masih terlalu banyak harapan untuk ditinggalkan. Mimpi buruk datang sekali dua kali, tapi tawa bukankah terlalu sering datang? Terlalu cepat bagi mu atau ku atau kita untuk mati sekarang. Jangan. Kopi rasanya masih enak, jangan.
Bung, raga laknat seperti itu sekali-sekali perlu juga dijilati cambuk. Barangkali untuk memanggil kembali kekuatan. Barangkali juga untuk menyadarkanmu kemana kau harus berlari. Berlarilah, selama itu arah yang benar. Merangkaklah bila kekuatanmu habis tapi tetap pada arah yang benar. Yakinlah kau akan bisa bertarung lagi. Lagipula masih banyak obat penghilang rasa sakit, santai saja.
Maka, pelajaran moralnya adalah hidup itu selain panggung opera juga merupakan medan pertempuran. Bisa dua-duanya, atau juga bisa menjadi semacam warung kopi di tengah kenaikan harga BBM, riuh.
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire